Kebijakan Tarif Impor AS Hancurkan Bisnis Pabrik Nikel Di Filipina

Kebijakan Tarif Impor AS

Kebijakan Tarif Impor AS Hancurkan Bisnis Pabrik Nikel Di Filipina mulai menunjukkan dampak yang signifikan terhadap sektor industri global. Salah satu sektor yang terdampak cukup berat adalah industri nikel, yang merupakan bagian penting dalam rantai pasokan bahan baku strategis dunia.

Negara-negara penghasil utama seperti Filipina dan Australia kini tengah menghadapi tantangan serius dalam mempertahankan kelangsungan produksi mereka akibat menurunnya permintaan global.

Seiring dengan penurunan permintaan internasional, sejumlah perusahaan tambang nikel di kedua negara tersebut dilaporkan mengalami gangguan operasional, bahkan ada yang terpaksa menghentikan kegiatan produksi. Gangguan ini semakin menguatkan sinyal bahwa ketergantungan terhadap pasar global membuat industri pertambangan menjadi sangat rentan terhadap gejolak kebijakan eksternal.

Kebijakan Tarif Impor AS Hancurkan Bisnis Pabrik

Nikel Filipina & Australia Mandek Gegara Perang Dagang, RI Bagaimana?

Menurutnya, kondisi tersebut bisa menjadi pukulan ganda, terutama bagi negara-negara yang tidak memiliki efisiensi biaya produksi yang memadai.

“Penurunan harga nikel yang terjadi di pasar internasional disertai peningkatan tarif ekspor telah membuat sejumlah produsen nikel menghadapi tekanan berat. Jika tidak disikapi dengan strategi efisien, maka potensi keruntuhan industri menjadi nyata,” ujar Dilo dalam sesi diskusi terbatas bertajuk Ngobrol Eksklusif yang digelar di Graha CIMB Niaga, Jakarta, Kamis (17/4/2025).

Dalam menghadapi kondisi tersebut, Dilo menyatakan bahwa MIND ID telah menerapkan sejumlah langkah antisipatif guna memastikan keberlangsungan operasional. Salah satu langkah yang diambil adalah menjaga agar struktur biaya produksi tetap berada di bawah rata-rata harga jual atau average selling price, sehingga tetap kompetitif meskipun terjadi tekanan dari sisi permintaan.

Lebih lanjut, Dilo menambahkan bahwa Indonesia juga turut terdampak oleh kebijakan tarif tinggi dari Pemerintah Amerika Serikat. Komoditas nikel beserta produk turunannya dikenai tarif bea masuk sebesar 32 persen. Namun demikian, menurutnya, tidak seluruh produk tambang terkena dampak secara merata, dan pemerintah Indonesia telah mulai melakukan upaya advokasi kebijakan sejak jauh hari.

“Tarif 32 persen itu tidak bisa dipukul rata untuk semua komoditas. Karena itu, kami telah melakukan pendekatan regulasi dan advokasi jauh sebelum wacana kenaikan tarif tersebut diumumkan secara resmi oleh Presiden Trump,” ujarnya.

Sebelumnya, Donald Trump melalui pernyataan resminya mengumumkan penangguhan sementara pemberlakuan tarif baru kepada sejumlah negara selama 90 hari. Dalam unggahan di media sosialnya, Trump juga menyampaikan bahwa selama masa penangguhan tersebut, Amerika Serikat akan menyesuaikan kebijakan tarif timbal balik hingga 10 persen, yang diberlakukan secara segera.

Hancurkan Bisnis Pabrik Nikel Di Filipina

Dalam laporan CNBC yang dirilis pada Kamis (10/4), Trump juga mengumumkan kenaikan tarif impor dari Tiongkok menjadi sebesar 125 persen. Langkah ini diambil dengan alasan bahwa Beijing dinilai tidak menunjukkan sikap kooperatif terhadap mekanisme pasar global.

Deretan Industri Ini Telan 'Pil Pahit' dari Kebijakan Tarif Impor AS | News+ on RCTI+

Meski sebagian negara mendapat penangguhan, Indonesia justru terkena dampak penuh kebijakan tersebut. Akibatnya, produk ekspor nasional, termasuk nikel, menghadapi tantangan baru di pasar Amerika. Kondisi ini menambah tekanan pada sektor ekspor, terutama industri yang sangat bergantung pada permintaan dari pasar global.

Dalam konteks ini, sektor manufaktur berorientasi ekspor, transportasi-logistik, pertambangan, serta industri konstruksi dan investasi menjadi yang paling rentan. Kebijakan tarif yang diterapkan secara sepihak oleh Amerika Serikat berisiko memicu depresiasi nilai tukar rupiah dan memperburuk defisit neraca perdagangan Indonesia.

Di tengah ketidakpastian global, Indonesia justru menjajaki kerja sama industri dengan mitra non-tradisional. Salah satu perkembangan penting adalah inisiatif Arab Saudi untuk mengembangkan kawasan industri di Indonesia.

Rencana tersebut dibahas dalam pertemuan antara Menteri Perindustrian Republik Indonesia, Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Menteri Industri dan Sumber Daya Mineral Kerajaan Arab Saudi, Bandar Al-Khorayef, yang berlangsung di kantor BPSDMI Kementerian Perindustrian, Rabu (16/4).

“Kerja sama ini akan menjadi peluang strategis bagi kedua negara. Arab Saudi yang sedang merintis pembangunan kawasan industri, tertarik menjajaki model kawasan industri yang sudah dikelola di Indonesia,” ungkap Menteri Agus.

Saat ini, Indonesia memiliki lebih dari 150 kawasan industri yang telah berjalan dengan baik. Potensi tersebut menjadi landasan bagi kedua negara untuk menyusun Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding / MoU) sebagai dasar kerja sama lebih lanjut dalam bidang industri dan pertambangan.

Baca Juga : Bisnis Properti Terdampak Tarif Presiden AS Trump Ini Harapannya

Pemerintah Indonesia menilai bahwa upaya diversifikasi mitra dagang dan penguatan kerja sama lintas negara sangat penting dalam menghadapi gejolak ekonomi global. Di sisi lain, tokoh nasional seperti Wakil Ketua MPR Eddy Soeparno juga memberikan pernyataan terkait pentingnya respons pemerintah terhadap kebijakan tarif Trump.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *