Geliat Tambang Rakyat Sekotong, Tradisi yang Menanti Pengakuan Resmi
Di balik perbukitan gersang dan jalan-jalan berdebu di wilayah Sekotong, Kabupaten Lombok Barat, hidup sebuah tradisi yang sudah berlangsung selama puluhan tahun: tambang emas rakyat.
Aktivitas ini bukan sekadar sumber penghidupan, tetapi juga bagian dari warisan budaya lokal yang diwariskan lintas generasi.
Meski telah menjadi denyut nadi ekonomi masyarakat, tambang rakyat Sekotong hingga kini masih beroperasi di tengah bayang-bayang ketidakpastian hukum.

Warisan Turun-Temurun yang Menjadi Sumber Nafkah
Tambang rakyat Sekotong tidak lahir dari industri modern. Ia tumbuh dari kebutuhan masyarakat akan penghidupan, terutama setelah meredupnya sektor pertanian dan perikanan. Sejak ditemukan adanya kandungan emas di kawasan tersebut pada awal 2000-an, warga lokal mulai menggali dengan peralatan sederhana—cangkul, linggis, dulang, dan palu.
Banyak dari para penambang hari ini adalah anak-anak dari penambang generasi pertama. Mereka tumbuh bersama aktivitas ini, belajar dari orang tua mereka bagaimana mengenali batu emas, menakar potensi galian, dan menjalankan pengolahan tradisional. Namun, meskipun menjadi bagian dari keseharian masyarakat, tambang ini belum mendapatkan legalitas formal dari negara.
Kontribusi Ekonomi yang Tidak Terdata
Secara ekonomi, tambang rakyat Sekotong berperan penting dalam menopang kehidupan ribuan keluarga. Penghasilan dari emas yang diperoleh digunakan untuk kebutuhan dasar, pendidikan anak, hingga pembangunan rumah. Pasar lokal pun ikut bergerak dengan adanya perputaran uang yang signifikan di wilayah ini.
Sayangnya, kontribusi besar ini seringkali tidak tercatat secara resmi. Karena status tambang yang belum legal, aktivitas ekonomi yang muncul dari sektor ini tidak masuk dalam statistik daerah. Pemerintah kehilangan potensi pendapatan dari sektor ini, sementara masyarakat tetap bekerja dalam situasi yang rentan.
Risiko Lingkungan dan Keselamatan
Salah satu konsekuensi dari status ilegal tambang rakyat adalah minimnya pengawasan dan standar keselamatan. Para penambang bekerja di lubang-lubang sempit tanpa perlindungan memadai. Penggunaan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida dalam pengolahan emas juga menjadi ancaman serius bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Beberapa insiden longsor dan kecelakaan kerja pernah terjadi di kawasan ini, namun belum ada solusi berkelanjutan yang ditawarkan pemerintah. Alih-alih ditertibkan, aktivitas tambang ini hanya sesekali ditutup sementara tanpa solusi jangka panjang.
Menanti Pengakuan dalam Bingkai Regulasi
Masyarakat Sekotong tidak menolak regulasi. Justru, mereka mendambakan legalitas agar bisa bekerja dengan aman dan adil. Pengakuan resmi dalam bentuk Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) atau skema pertambangan berbasis koperasi bisa menjadi jalan tengah antara kebutuhan masyarakat dan kepentingan negara.
Upaya untuk mewujudkan legalisasi sudah dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil dan pemerintah daerah. Namun, birokrasi yang panjang serta ketidakpastian kebijakan di tingkat pusat membuat prosesnya berjalan lambat.
Harapan akan Masa Depan yang Pasti
Para penambang rakyat Sekotong hidup dalam harapan akan masa depan yang lebih pasti. Mereka tidak hanya ingin mengeruk emas dari tanah, tetapi juga ingin merasa diakui sebagai bagian sah dari ekonomi bangsa. Mereka ingin tambang yang aman, berkelanjutan, dan tetap bisa diwariskan kepada anak cucu tanpa rasa takut akan penggusuran atau kriminalisasi.
Legalitas bukan hanya soal izin, tapi juga tentang penghormatan terhadap kehidupan dan budaya masyarakat lokal. Selama tambang rakyat Sekotong belum mendapatkan pengakuan resmi, maka selama itu pula masyarakat akan terus hidup dalam ketidakpastian.
Baca juga:KTT BRICS Prabowo Usul NDB Lebih Banyak Biayai Negara Berkembang